Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Para Pengubah Peradaban

Inspirasiku

Senin, 22 November 2010

Marah (janganlah) Jadi Tangis


Oleh : Azwa Fathiha
Menjadi guru adalah cita-citaku sejak kecil. Tak seperti teman-teman yang lain yang lebih memilih menjadi seorang dokter atau insinyur. Setelah kutanya beberapa teman tentang cita-cita mereka, nyaris tak ada yang memilih guru sebagai cita-cita. Tak mengapa, toh bagiku sosok guru tak kalah hebat dari dokter ataupun insyinyur. Mereka tak akan bisa jadi sosok yang membanggakan itu tanpa campur tangan sang guru.
Begitulah, betapa inginnya aku menjadi pahlawan tanda jasa itu. Hingga akhirnya cita-cita itu benar-benar kesampaian. Sebuah sekolah islam terpadu yang menggunakan konsep boarding school menjadi tempat pengabdianku setelah sebelumnya sempat pula aku mengajar di bimbingan belajar.
Sekolah tersebut bergabung dengan pondok pesantren terbesar di Sumatera Selatan. Banyak lulusannya tersebar hingga keluar negeri, umumnya adalah negara-negara di Timur Tengah. SMP Islam Terpadu Raudhatul Ulum namanya, sebuah sekolah yang menggabungkan tiga kurikulum ; kurikulum diknas, kurikulum sekolah islam terpadu dan juga kurikulum pesantren. Tiga tahun pengalaman yang sungguh luar biasa. Begitu banyak tawa yang tercipta selama aku mengabdikan diri di sekolah yang terletak di sebuah desa tak terlalu terpencil.
Apa yang kucari disana? Awalnya memang tentu saja ingin mengaplikasikan ilmu yang telah kudapat. Untuk apa aku susah-susah belajar, memikirkan rumus-rumus serta mengolah angka ketika ujian, semuanya tentu saja demi cita-cita masa kecilku. Itu merupakan kegembiraan yang luar biasa yang kudapat. Tak lama setelah itu, sebuah pekerjaan yang cukup menarik berhasil kudapatkan. Sungguh tak pernah terpikirkan sebelumnya aku bisa menjadi bagian dari keluarga besar Pondok Pesantren Raudhatul Ulum. Ilmu agamaku bisa dibilang masih cetek. Entah apa yang membuatku akhirnya bisa dipilih untuk mengajar disana. Dan satu hal yang membuatku bangga adalah panggilan ‘Umi’ yang menjadi pengganti ‘Bu Guru’ melekat di depan namaku.
Umi jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia adalah ibu. Seperti telah kuurai diatas, sekolah ini menganut konsep boarding school alias asrama. Siswa diwajibkan untuk tinggal di asrama. Begitu juga gurunya. Maka akupun mau tak mau harus juga tinggal di asrama bersama anak-anak. Dan disini peran ‘Umi’ benar-benar harus kulakoni. Membangunkan mereka kala fajar, menyuruh sholat, menyuruh mereka untuk merapikan tempat tidur juga barang-barang pribadi. Hmm…itung-itung belajar sebelum menjadi umi beneran.
Sebuah aktivitas yang monoton kukira. Tapi aku cukup menikmatinya. Jika di sekolah, aku berubah menjadi guru bagi mereka, mentransfer ilmu untuk bekal masa depan mereka, begitu kembali ke asrama maka peran itupun berganti. Begitu banyak peran yang harus kulakoni di depan anak didikku. Tak hanya sebagai guru tapi juga sebagai ibu, kakak, bahkan teman bagi mereka. Terkadang mereka curhat masalah yang mereka hadapi baik itu tentang pelajaran, teman, keluarga juga cinta. Sungguh polosnya penuturan mereka. Sungguh, aku menikmatinya.
Namun terkadang apa yang kita harapkan tak sejalan dengan kehendak Tuhan. Aku selalu berharap semuanya berjalan baik-baik saja, tanpa adanya gesekan yang bisa meruntuhkan semangatku. Hukum alam pun berlaku, dimana manusia tak bisa mengelak dari masalah. Ya, perlahan, masalah mulai menghampiri. Masalah-masalah sepele seperti anak-anak yang mulai malas melaksanakan piket hingga permasalahan yang cukup membuatku pusing tak karuan. Perlu diketahui, aku juga mengemban amanah sebagai waka kesiswaan, dimana tugasku disini tak ubahnya seperti penegak hukum di sekolah dan asrama.
Ada satu masalah yang masih membuatku hingga kini sulit untuk melupakannya. Masalah dengan anak-anak didikku yang terjadi pada tahun terakhir pengabdianku. Masalah yang membuatku begitu lamanya mengikhlaskan kata maaf bagi mereka. Mereka anak-anak didikku, begitu banyak kenangan yang kulewati bersama mereka. Juga kenakalan-kenakalan masa transisi pun aku turut ambil bagian. Mungkin hanya akulah guru yang benar-benar memahami segala hal yang dialami oleh anak-anak didikku itu. Betapa tidak, tiga tahun kuhabiskan waktu bersama mereka, bercengkrama, mengamati pertumbuhan mereka. Nyatanya semua tak berakhir manis. Ya, sebuah perpisahan yang sungguh menyakitkan. Kurelakan mereka pergi, menuju kebebasan yang begitu mereka inginkan meski hati ini perih.
Entahlah, mungkin aku yang salah. Aku tak bisa tegas menghadapi semua kesalahan yang mereka lakukan. Kasus pacaran yang sebetulnya tabu di lingkungan pesantren berulang kali mereka lakukan. Bahkan berulang kali mereka lakukan pertemuan tanpa sepengetahuanku. Berbagai hukuman telah kuberikan, mencuci boks makan seluruh siswa yang berjumlah seratus anak, membersihkan teras yang dipenuhi oleh kotoran hewan, mengangkut air dari asrama hingga ke kantor guru yang jaraknya hampir satu km, menjemur mereka seharian, menghafal surat Al-qur’an, semuanya seolah tak menjadi pembelajaran bagi mereka. Mereka dengan bangganya mengklaim bahwa mereka kompak, hingga melakukan kesalahan pun dilakukan secara jama’i-walau tak semuanya.
Hingga puncaknya, saat hari-hari menjelang UN tiba. Sebuah masalah terberat yang kuhadapi selama di pondok itu benar-benar menguras pikiran bahkan semangatku. Sebuah masalah dengan anak-anak kelas akhir. Kehadiranku dianggap tidak berarti. Aku seolah bukanlah ‘Umi’ bagi mereka. Sakit sekali rasanya. Mereka anak-anak yang kubanggakan, dimana motivasi serta semangat kutularkan pada mereka. Tak ingin kuceritakan apa permasalahannya. Aku ingin melupakan semuanya. Sungguh aku sangat marah pada saat itu benar-benar marah. Tapi nyatanya kemarahan itu berubah menjadi tangisan. Aku tak sanggup membendungnya walau sekuat tenaga kuusahakan agar air mata tak membuncah di pelupuk mataku. Gagal. Air mata berhasil menjebol, menganak, dan aku pun terisak. Di depan mereka, aku menangis, mungkin tangisan paling parah yang kutampakkan pada mereka. Dan mereka tetap saja seolah tak peduli, merasa tak bersalah.
“Ini wujud marah Umi, Nak. Umi tak terima atas perlakuan kalian setelah apa yang telah Umi korbankan.”
Aku benar-benar terpukul. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan kuendapkan semua. Sebisa mungkin aku tak bersinggungan dengan mereka, tak ingin berurusan dengan segala hal berkaitan dengan mereka. Aku menyepi, menghindar dari mereka, mengungsi ke asrama lain bahkan harus rela pulang pergi Palembang-Indralaya yang ditempuh selama kurang lebih 1,5 jam. Harus rela gajiku dipotong. Semua itu karena kupendam rasa marah dan kecewaku. Biarlah!
Kita ambil benang merah dari apa yang kuceritakan di atas dengan duka yang dialami negeri ini. Mungkin saat ini Tuhan marah. Satu dasawarsa ini berbagai bencana menimpa negeri kita. Indonesia menangis. Apakah kita seolah tak peduli mengapa Tuhan marah? Tak ambil pusing dengan itu semua. Jangan sampai Tuhan tak peduli lagi pada kita, meninggalkan kita, seperti yang pernah kulakukan pada anak didikku. Aku tak peduli lagi dengan semua yang berkaitan dengan mereka hingga kelulusan. Walau sebenarnya, diam-diam aku memperhatikan gerak meraka dari jauh. Meski marah dan diliputi kekecewaan, mereka tetaplah anak-anakku. Semarah-marahnya aku, tak bisa kupungkiri bahwa aku masih menyayangi mereka.
Dan sekarang, kemarahan-Nya telah ditampakkan. Tak tanggung-tanggung dalam waktu yang berdekatan berbagai peristiwa mengguncang negeri yang indah ini. Masih belum terlambat untuk kita renungkan, apa yang telah kita perbuat sehingga Tuhan memberikan tangisan bagi saudara-saudara kita di Wasior, Mentawai, Merapi. Berhentilah menangis negeriku, saatnya membangun kembali. Jangan biarkan Tuhan kembali murka. Usap air mata lalu tersenyumlah.                                                                                                                                                                                                                                                                               Palembang, 03 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar