Oleh : Azwa Fathiha
Menjadi
guru adalah cita-citaku sejak kecil. Tak seperti teman-teman yang lain yang
lebih memilih menjadi seorang dokter atau insinyur. Setelah kutanya beberapa
teman tentang cita-cita mereka, nyaris tak ada yang memilih guru sebagai
cita-cita. Tak mengapa, toh bagiku sosok guru tak kalah hebat dari dokter
ataupun insyinyur. Mereka tak akan bisa jadi sosok yang membanggakan itu tanpa
campur tangan sang guru.
Begitulah,
betapa inginnya aku menjadi pahlawan tanda jasa itu. Hingga akhirnya cita-cita
itu benar-benar kesampaian. Sebuah sekolah islam terpadu yang menggunakan
konsep boarding school menjadi tempat
pengabdianku setelah sebelumnya sempat pula aku mengajar di bimbingan belajar.
Sekolah
tersebut bergabung dengan pondok pesantren terbesar di Sumatera Selatan. Banyak
lulusannya tersebar hingga keluar negeri, umumnya adalah negara-negara di Timur
Tengah. SMP Islam Terpadu Raudhatul Ulum namanya, sebuah sekolah yang
menggabungkan tiga kurikulum ; kurikulum diknas, kurikulum sekolah islam
terpadu dan juga kurikulum pesantren. Tiga tahun pengalaman yang sungguh luar
biasa. Begitu banyak tawa yang tercipta selama aku mengabdikan diri di sekolah
yang terletak di sebuah desa tak terlalu terpencil.
Apa
yang kucari disana? Awalnya memang tentu saja ingin mengaplikasikan ilmu yang
telah kudapat. Untuk apa aku susah-susah belajar, memikirkan rumus-rumus serta
mengolah angka ketika ujian, semuanya tentu saja demi cita-cita masa kecilku.
Itu merupakan kegembiraan yang luar biasa yang kudapat. Tak lama setelah itu,
sebuah pekerjaan yang cukup menarik berhasil kudapatkan. Sungguh tak pernah
terpikirkan sebelumnya aku bisa menjadi bagian dari keluarga besar Pondok
Pesantren Raudhatul Ulum. Ilmu agamaku bisa dibilang masih cetek. Entah apa yang membuatku akhirnya bisa dipilih untuk
mengajar disana. Dan satu hal yang membuatku bangga adalah panggilan ‘Umi’ yang
menjadi pengganti ‘Bu Guru’ melekat di depan namaku.
Umi
jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia adalah ibu. Seperti telah kuurai
diatas, sekolah ini menganut konsep boarding
school alias asrama. Siswa diwajibkan untuk tinggal di asrama. Begitu juga
gurunya. Maka akupun mau tak mau harus juga tinggal di asrama bersama
anak-anak. Dan disini peran ‘Umi’ benar-benar harus kulakoni. Membangunkan
mereka kala fajar, menyuruh sholat, menyuruh mereka untuk merapikan tempat
tidur juga barang-barang pribadi. Hmm…itung-itung belajar sebelum menjadi umi
beneran.
Sebuah
aktivitas yang monoton kukira. Tapi aku cukup menikmatinya. Jika di sekolah,
aku berubah menjadi guru bagi mereka, mentransfer ilmu untuk bekal masa depan
mereka, begitu kembali ke asrama maka peran itupun berganti. Begitu banyak
peran yang harus kulakoni di depan anak didikku. Tak hanya sebagai guru tapi
juga sebagai ibu, kakak, bahkan teman bagi mereka. Terkadang mereka curhat
masalah yang mereka hadapi baik itu tentang pelajaran, teman, keluarga juga
cinta. Sungguh polosnya penuturan mereka. Sungguh, aku menikmatinya.
Namun
terkadang apa yang kita harapkan tak sejalan dengan kehendak Tuhan. Aku selalu
berharap semuanya berjalan baik-baik saja, tanpa adanya gesekan yang bisa
meruntuhkan semangatku. Hukum alam pun berlaku, dimana manusia tak bisa
mengelak dari masalah. Ya, perlahan, masalah mulai menghampiri. Masalah-masalah
sepele seperti anak-anak yang mulai malas melaksanakan piket hingga
permasalahan yang cukup membuatku pusing tak karuan. Perlu diketahui, aku juga
mengemban amanah sebagai waka kesiswaan, dimana tugasku disini tak ubahnya
seperti penegak hukum di sekolah dan asrama.
Ada
satu masalah yang masih membuatku hingga kini sulit untuk melupakannya. Masalah
dengan anak-anak didikku yang terjadi pada tahun terakhir pengabdianku. Masalah
yang membuatku begitu lamanya mengikhlaskan kata maaf bagi mereka. Mereka
anak-anak didikku, begitu banyak kenangan yang kulewati bersama mereka. Juga
kenakalan-kenakalan masa transisi pun aku turut ambil bagian. Mungkin hanya
akulah guru yang benar-benar memahami segala hal yang dialami oleh anak-anak
didikku itu. Betapa tidak, tiga tahun kuhabiskan waktu bersama mereka,
bercengkrama, mengamati pertumbuhan mereka. Nyatanya semua tak berakhir manis.
Ya, sebuah perpisahan yang sungguh menyakitkan. Kurelakan mereka pergi, menuju
kebebasan yang begitu mereka inginkan meski hati ini perih.
Entahlah,
mungkin aku yang salah. Aku tak bisa tegas menghadapi semua kesalahan yang
mereka lakukan. Kasus pacaran yang sebetulnya tabu di lingkungan pesantren
berulang kali mereka lakukan. Bahkan berulang kali mereka lakukan pertemuan
tanpa sepengetahuanku. Berbagai hukuman telah kuberikan, mencuci boks makan
seluruh siswa yang berjumlah seratus anak, membersihkan teras yang dipenuhi
oleh kotoran hewan, mengangkut air dari asrama hingga ke kantor guru yang
jaraknya hampir satu km, menjemur mereka seharian, menghafal surat Al-qur’an, semuanya
seolah tak menjadi pembelajaran bagi mereka. Mereka dengan bangganya mengklaim
bahwa mereka kompak, hingga melakukan kesalahan pun dilakukan secara
jama’i-walau tak semuanya.
Hingga
puncaknya, saat hari-hari menjelang UN tiba. Sebuah masalah terberat yang
kuhadapi selama di pondok itu benar-benar menguras pikiran bahkan semangatku. Sebuah
masalah dengan anak-anak kelas akhir. Kehadiranku dianggap tidak berarti. Aku
seolah bukanlah ‘Umi’ bagi mereka. Sakit sekali rasanya. Mereka anak-anak yang
kubanggakan, dimana motivasi serta semangat kutularkan pada mereka. Tak ingin
kuceritakan apa permasalahannya. Aku ingin melupakan semuanya. Sungguh aku
sangat marah pada saat itu benar-benar marah. Tapi nyatanya kemarahan itu
berubah menjadi tangisan. Aku tak sanggup membendungnya walau sekuat tenaga
kuusahakan agar air mata tak membuncah di pelupuk mataku. Gagal. Air mata
berhasil menjebol, menganak, dan aku pun terisak. Di depan mereka, aku
menangis, mungkin tangisan paling parah yang kutampakkan pada mereka. Dan
mereka tetap saja seolah tak peduli, merasa tak bersalah.
“Ini
wujud marah Umi, Nak. Umi tak terima atas perlakuan kalian setelah apa yang
telah Umi korbankan.”
Aku
benar-benar terpukul. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan kuendapkan semua. Sebisa
mungkin aku tak bersinggungan dengan mereka, tak ingin berurusan dengan segala
hal berkaitan dengan mereka. Aku menyepi, menghindar dari mereka, mengungsi ke
asrama lain bahkan harus rela pulang pergi Palembang-Indralaya yang ditempuh
selama kurang lebih 1,5 jam. Harus rela gajiku dipotong. Semua itu karena
kupendam rasa marah dan kecewaku. Biarlah!
Kita
ambil benang merah dari apa yang kuceritakan di atas dengan duka yang dialami
negeri ini. Mungkin saat ini Tuhan marah. Satu dasawarsa ini berbagai bencana
menimpa negeri kita. Indonesia menangis. Apakah kita seolah tak peduli mengapa
Tuhan marah? Tak ambil pusing dengan itu semua. Jangan sampai Tuhan tak peduli
lagi pada kita, meninggalkan kita, seperti yang pernah kulakukan pada anak
didikku. Aku tak peduli lagi dengan semua yang berkaitan dengan mereka hingga
kelulusan. Walau sebenarnya, diam-diam aku memperhatikan gerak meraka dari
jauh. Meski marah dan diliputi kekecewaan, mereka tetaplah anak-anakku. Semarah-marahnya
aku, tak bisa kupungkiri bahwa aku masih menyayangi mereka.
Dan
sekarang, kemarahan-Nya telah ditampakkan. Tak tanggung-tanggung dalam waktu
yang berdekatan berbagai peristiwa mengguncang negeri yang indah ini. Masih
belum terlambat untuk kita renungkan, apa yang telah kita perbuat sehingga
Tuhan memberikan tangisan bagi saudara-saudara kita di Wasior, Mentawai,
Merapi. Berhentilah menangis negeriku, saatnya membangun kembali. Jangan
biarkan Tuhan kembali murka. Usap air mata lalu tersenyumlah. Palembang,
03 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar