Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Para Pengubah Peradaban

Inspirasiku

Jumat, 12 November 2010

Aku Abimu

Oleh : Azwa Fathiha

Ada sesuatu yang terjadi beberapa hari ini. Entah apa aku yang salah atau anak-anak itu. Mereka seolah tak pernah menganggapku sebagai guru mereka. Aku seolah kehilangan wibawa di depan anak didikku itu.
“Akhi, coba tenangkan diri dulu.” Anwar, rekanku, menepuk pundakku yang penuh beban ini. Aku menatapnya sekilas. Wajahnya masih menyisakan sedikit air wudhu. Aku pun tersenyum
“Sukron, War,” jawabku singkat. Aku meraih kursi yang menganggur di sebelahku. Kulihat Anwar melakukan hal yang sama. Ia menarik kursinya tepat di samping kananku.
“Sabar, Akhi. Ini cobaan buat kita. Mungkin sekarang anak-anak sedang bermetamorfosis menjadi sosok yang lebih dewasa,” ujarnya.

“Kau tenang sekali, War. Padahal, kau lihat sendiri, anak-anak sekarang sudah jauh berbeda dari yang kukenal dulu. Mereka tak ada lagi rasa hormat pada kita, gurunya, murobbinya,” kataku agak sedikit panas.
“Ya. Tapi kita jangan panas dulu, akhi. Kita cari dulu sebabnya kenapa mereka bisa begitu.” Anwar lagi-lagi berbicara seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Aku yang sudah panas beringsut dari dudukku.
“Aku ambil wudhu dulu, War. Sebentar lagi anak-anak menyetor hafalannya.” Aku meninggalkan Anwar menuju ke arah Masjid Al-Bukhori.Tak lama, jaros pertama berbunyi. Segera aku pergi menuju kamarku di Asrama Hamzah. Kulihat anak-anak masih asyik bermain sepak bola di halaman depan.
“Ada Ustad Farid !” teriak beberapa anak-anak.
Secara spontan mereka bubar seperti butiran kapas yang bertebaran di udara ketika ditiup. Berlari menuju ke kamar-kamar di Asrama Hamzah. Ada juga yang ngacrit ke Asrama Osama.
Aku tersenyum miris. Bola yang dari tadi menjadi rebutan tergelatak tak berdaya tak jauh dari gawang. Sepertinya bola itu hendak ditendang masuk ke gawang, tetapi urung dengan kedatanganku bak malaikat pencabut nyawa.
Aku melangkahkan kakiku ke kamar satu Hamzah. Kudapati beberapa anak sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang membereskan tempat tidurnya, memunguti sampah bekas pesta mereka tadi siang, ada juga yang berebutan mandi.
Aku pergi meninggalkan mereka. Kakiku pun melangkah ke kamar sebelah. Aku menemukan adegan yang hampir sama dengan adegan sebelumnya. Aku hanya geleng-geleng kepala.
“Riz, tolong bilang dengan yang lainnya, Ustad tunggu setoran hafalan kalian 5 menit lagi di villa depan asrama,” ujarku pada Rizwar yang sudah lengkap dengan perlengkapan sholatnya.
“Ya, Tad.” Rizwar langsung mengumumkan titahku pada anak-anak di lingkungan Hamzah.
Aku duduk di dalam villa, menanti anak didikku. Kulihat Rizwar berjalan ke arahku. Juz amma dalam genggamannya.
“Tad, nyetor surat An-Naba,” ujarnya begitu sampai di depanku.
Aku mengangguk. Kudengarkan tahfidznya. Anak ini luar biasa. Rizwar adalah anak didikku yang paling baik akhlaknya. Paling tidak ini menurutku. Kusimak hafalannya dengan seksama. Meskipun sesekali sudut mataku melihat anak didikku yang lain masih berkeliaran di sekitar asrama.
"Ustad… Feri dan Umar bertengkar!" teriak seorang muridku.
Lagi?
Kenapa harus ada lagi yang bertengkar. Rasanya tubuh ini sudah lelah menjadi hakim bagi para terdakwa. Apalagi terdakwanya tak jauh dari sosok Umar, si biang rusuh.
Bergegas aku berlari menuju kearah sumber suara. Tampak beberapa anak bergerombol tanpa ada yang mau memisahkan mereka.
"Berhenti..!" teriakku lantang. Tapi kedua anak yang asyik bergulat itu mengacuhkan perintahku. Mereka masih saja saling pukul.
Heran, anak-anak itu seperti tidak mengindahkan perintahku. Mereka masih saja bergerombol menyaksikan pertandingan antara Umar dan Feri.
Aku menyeruak diantara kerumunan anak-anak yang menonton pertandingan seru itu.
Akhirnya aku berhasil berdiri di deretan terdepan. Murid-murid lain kusuruh untuk menyingkir.
“Masya Allah,” aku berteriak tertahan. Tampak Umar seperti algojo yang kesetanan memukul Feri yang badannya lebih kecil dengan membabi buta.
”Umar!” Kutarik tangannya saat ia bersiap untuk melancarkan pukulan selanjutnya di tubuh mungil Feri.
Ia berontak sesaat. Dengan sekuat tenaga aku berusaha menahannya. Kulihat darah mengucur dari celah bibir Feri. Umar pun tak kalah kacaunya. Baju seragam pandunya terlihat tak berbentuk.
“Semuanya bubar!” Kudengar instruksi dari depan pintu. Suara Anwar.
“Sekarang, kembali ke kamar masing-masing bersiap untuk ke masjid,” lanjut rekanku itu.
Beberapa anak langsung bubar. Ada yang kembali ke kamarnya, ada juga yang menunggu di luar menunggu episode selanjutnya.
Tanganku masih mencengkram lengan Umar, sementara Anwar membantu Feri berdiri.
“Kalian berdua, ikut ustad,” ujarku masih tetap memegang tangan Umar. Kuseret lengan anak didikku yang terkenal badung itu. Anwar membimbing Feri berjalan di belakangku.
Kedua anak itu kuberdirikan di depan asrama. Feri tampak meringis menahan sakit di tubuhnya.
Umar?
Ah, aku capek mengurusi anak yang satu ini. Selalu saja membuat masalah. Tidak hanya di sekolah tapi juga di asrama. Dia menjadi top score dikalangan santri dalam hal membuat pelanggaran.
“Sekarang apa lagi, Umar?” Anwar yang memulai interogasi.
Umar diam.
“Jawab!” bentakku tak sabar.
Terus terang aku benar-benar sudah bosan menyidang Umar. Kasusnya sudah terlalu banyak. Aku plus rekan-rekanku sampai kehabisan akal untuk menghadapi anak yang satu ini.
Umar masih dalam diamnya.
“Kau ini....”
Plak!
Plak!
Tanpa sadar tanganku mengarah ke kedua pipinya. Aku langsung istighfar dalam hati.
“Sabar, Akhi,” ujar Anwar menenangkanku.
“Coba jelaskan Feri?” Anwar bertanya kepada Feri yang sedari tadi tertunduk dalam bisu.
“Umar mengambil uangku, Tad,” ujar Feri sambil melirik Umar yang berdiri seolah tanpa dosa di samping kirinya.
“Umar... Umar... Kau ini tak pernah bosan membuat ulah. Apa sih maumu? Coba bilang ke Ustad?” Aku mendekati Umar.
Kali ini aku mencoba untuk memahaminya.
“Ceritalah! Ustad disini sebagai abimu yang siap mendengarkan setiap keluh kesah kalian. Ceritalah, Mar.” Aku menyakinkannya.
“Ah, Ustad tidak tahu apa-apa. Kerja Ustad cuma bisa marah-marah saja,” Umar berkata dengan cueknya.
“Yang sopan kalau bicara sama Ustad. Ingat Umar, Ustad-ustad disini sebagai pengganti abimu.” Kali ini Anwar yang bicara.
“Saya tidak pernah meminta Ustad untuk jadi abi saya,” sergah Umar.
Aku semakin geram saja mendengar ucapan Umar.
“Ustad tidak usah sok jadi pahlawan, sok dewasa. Urus saja diri Ustad. Ngurus diri sendiri saja nggak becus eh malah sok mau ngurusin urusan orang lain.”
Telingaku panas.
Plak!
Lagi-lagi tanganku melayang dengan sukses di pipi Umar. Kali ini lebih kuat karena kulihat Umar meringis menerima tamparanku.
“Huh... beraninya cuma sama anak kecil,” dengusnya sambil meraba-raba pipinya.
“Kau...” Aku menghentikan ucapanku karena kupikir tak akan didengar oleh Umar.
Aku langsung balik arah. Aku memberi isyarat pada Anwar supaya dia yang menyelesaikan masalah ini.
Baru beberapa langkah aku meninggalkan mereka, kudengar teriakan Anwar.
“Akhi, awas!!”
Refleks aku menoleh. Aku pun langsung disambut dengan hantaman sebuah bata yang mendarat mulus di kepalaku. Sempat terlihat senyum sinis milik Umar.
“Mar, ingat, aku abimu,” ujarku lirih. Aku tak sanggup menahan beban tubuhku. Sementara darah mengalir deras dari pelipis mataku melewati celah-celah peciku.
Allahu Akbar... Allahu Akbar.....
Sayup-sayup terdengar lantunan azan magrib dari Masjid Al-Bukhori.
Aku ambruk, menghempas tanah.


Sakatiga, May 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar