Jiwa Tania
Segala macam tingkah mewarnai kedukaan di sebuah rumah sakit jiwa. Disanalah seorang gadis manis duduk sendiri. Tatapan matanya kosong.
“Tania, ayo masuk!” sapa seorang perawat.
Gadis yang ternyata bernama Tania itu menoleh.
“Tania masuk, ya, dokter mau memeriksamu,” ulang perawat itu sambil mengulurkan tangannya.
CAKRAWALA EKSPRESIKU
"Ya Allah, aku sungguh memohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu, dan mencintai amal yang dapat menghantarkan aku pada cinta-Mu." (HR Tirmidzi)
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Para Pengubah Peradaban
Inspirasiku
Jumat, 29 April 2011
Rindu Umi (RU)
Biar kukatakan sebuah kisah bernama kenangan menyisakan rindu.
Ya, tinggal kenangan. Bisa dibilang suatu perkampungan syarat ruhiyah.
Lantunan syair wahyu Tuhan bagi Muhammad syahdu menyesap dari gedung putih kokoh bermenara.
Jejerit bocah antri mandi, bersuci lalu gegas berlari berebut syaf stelah teriakan dan pukulan sajadah merajam badan.
Tak ada tabuh, hanya panggilan penyeru cukup membuat semua tunduk pada penguasa semesta.
Ya, tinggal kenangan. Bisa dibilang suatu perkampungan syarat ruhiyah.
Lantunan syair wahyu Tuhan bagi Muhammad syahdu menyesap dari gedung putih kokoh bermenara.
Jejerit bocah antri mandi, bersuci lalu gegas berlari berebut syaf stelah teriakan dan pukulan sajadah merajam badan.
Tak ada tabuh, hanya panggilan penyeru cukup membuat semua tunduk pada penguasa semesta.
Senin, 22 November 2010
Marah (janganlah) Jadi Tangis
Oleh : Azwa Fathiha
Menjadi
guru adalah cita-citaku sejak kecil. Tak seperti teman-teman yang lain yang
lebih memilih menjadi seorang dokter atau insinyur. Setelah kutanya beberapa
teman tentang cita-cita mereka, nyaris tak ada yang memilih guru sebagai
cita-cita. Tak mengapa, toh bagiku sosok guru tak kalah hebat dari dokter
ataupun insyinyur. Mereka tak akan bisa jadi sosok yang membanggakan itu tanpa
campur tangan sang guru.
Begitulah,
betapa inginnya aku menjadi pahlawan tanda jasa itu. Hingga akhirnya cita-cita
itu benar-benar kesampaian. Sebuah sekolah islam terpadu yang menggunakan
konsep boarding school menjadi tempat
pengabdianku setelah sebelumnya sempat pula aku mengajar di bimbingan belajar.
DIRUT
By : Azwa Fathiha
Dirut…. Dirut…. Dirut jangan nangis Bapang ka bajalan Bejalan dek ke lame Oi Dirut tinggallah kudai Dirut jangan nangis Pejamkanlah mata (penggalan lagu "Dirut")
Sayup-sayup kudengar Mang Ujuk mendendangkan Dirut. Suaranya lirih namun terdengar lantang, menerobos relung hati bagi yang mendengarkannya. Menyayat hatiku. Lagu itu, lagu yang mengingatkanku pada sosok Bapak yang selalu bersenandung ketika menidurkanku dalam buaiannya.
Aku menutup gendang telingaku. Merapatkan tanganku, agar dendang itu tak sampai ke telingaku. Aku merengsek menjauh. Bukan karena suara Mang Ujuk, tapi sekali lagi semua karena lagu yang dinyanyikan oleh adik ibuku itu.
Dirut…. Dirut…. Dirut jangan nangis Bapang ka bajalan Bejalan dek ke lame Oi Dirut tinggallah kudai Dirut jangan nangis Pejamkanlah mata (penggalan lagu "Dirut")
Sayup-sayup kudengar Mang Ujuk mendendangkan Dirut. Suaranya lirih namun terdengar lantang, menerobos relung hati bagi yang mendengarkannya. Menyayat hatiku. Lagu itu, lagu yang mengingatkanku pada sosok Bapak yang selalu bersenandung ketika menidurkanku dalam buaiannya.
Aku menutup gendang telingaku. Merapatkan tanganku, agar dendang itu tak sampai ke telingaku. Aku merengsek menjauh. Bukan karena suara Mang Ujuk, tapi sekali lagi semua karena lagu yang dinyanyikan oleh adik ibuku itu.
Jumat, 12 November 2010
Aku Abimu
Oleh : Azwa Fathiha
Ada sesuatu yang terjadi beberapa hari ini. Entah apa aku yang salah atau anak-anak itu. Mereka seolah tak pernah menganggapku sebagai guru mereka. Aku seolah kehilangan wibawa di depan anak didikku itu.
“Akhi, coba tenangkan diri dulu.” Anwar, rekanku, menepuk pundakku yang penuh beban ini. Aku menatapnya sekilas. Wajahnya masih menyisakan sedikit air wudhu. Aku pun tersenyum
“Sukron, War,” jawabku singkat. Aku meraih kursi yang menganggur di sebelahku. Kulihat Anwar melakukan hal yang sama. Ia menarik kursinya tepat di samping kananku.
“Sabar, Akhi. Ini cobaan buat kita. Mungkin sekarang anak-anak sedang bermetamorfosis menjadi sosok yang lebih dewasa,” ujarnya.
Ada sesuatu yang terjadi beberapa hari ini. Entah apa aku yang salah atau anak-anak itu. Mereka seolah tak pernah menganggapku sebagai guru mereka. Aku seolah kehilangan wibawa di depan anak didikku itu.
“Akhi, coba tenangkan diri dulu.” Anwar, rekanku, menepuk pundakku yang penuh beban ini. Aku menatapnya sekilas. Wajahnya masih menyisakan sedikit air wudhu. Aku pun tersenyum
“Sukron, War,” jawabku singkat. Aku meraih kursi yang menganggur di sebelahku. Kulihat Anwar melakukan hal yang sama. Ia menarik kursinya tepat di samping kananku.
“Sabar, Akhi. Ini cobaan buat kita. Mungkin sekarang anak-anak sedang bermetamorfosis menjadi sosok yang lebih dewasa,” ujarnya.
Langganan:
Postingan (Atom)